MAKE A LIFE NOT
JUST A LIVING
Kehidupan
Kristiani Yang Bertanggung Jawab
Artikel Rohani oleh :
Prof.Dr.JE.Sahetapy, SH,MA
dikutip dari Pelita Kasih
vol.4 thn 2001
editor : Eddy Sriyanto
dari
semua orang jahat, orang
jahat relijius adalah yang
terburuk, --G.S Lewis
|
|
|
|
Judul artikel ini saya ambil dari judul buku
yang ditulis oleh Ron Jenson. Hemat saya , judul buku Ron Jenson
ini cukup jelas untuk berbicara untuk irinya sendiri, sehingga
saya tak perlu bersusah payah memikirkan judul yang lebih tepat
untuk percakapan kita. Implikasi dari judul tersebut di atas,
hemat sayaaa, sangatlah merangsang untuk apa yang pernah dinamakan
"pahlawan tanpa tanda jasa", yaitu para guru. Para
pakar, mereka yang berkedudukan tinggi, para elit politik, siapa
saja yang termasuk para peraih nobel, pasti telah mengalami
dan merasakan sentuhan tangan pendiodikan dan atau suara teguran
keilmuan dari seorang guru. Tanpa guru sayaaa tidak bisa membayangkan
bagaimana wujud dunia kita ini. Oleh sebab itu pekerjaan seorang
guru adalah sebuah "panggilan", bukan sebuah pekerjaan
biasa. Kalau para guru menyadari hal ini, maka dasar pertama
yang sangat bermanfaat dan berhasil telah diletakkan.
Saya lalu teringat kepada sebuah sekolah swasta
sebelum Indonesia merdeka yang terletak di sebuah pulau terpencil,
Saparua, lebih kurang satu jam perjalanan laut dengan "speedboat"
dari pulau Ambon. Pemimpin sekolah ini begitu berjiwa nasionalistik
sehingga tidak mau bekerjasama dengan pemerintah kolonial Belanda
pada waktu itu, meskipun diancam dengan "wilde scholen
ordonnantie". Sekolah swasta kecil ini bernama "Particuliere
Saparuasche School" dipimpin oleh nyonya C.A. Sahetapy
Tomasowa, yang pada waktu itu harus bersaing dengan sekolah
Belanda dan sekolah milik gereja. Kedua sekolah terakhir ini
berbahasa Belanda.
Particuliere Saparuasche School (disingkat P.S.S)
juga berbahasa Belanda, dan dengan bantuan dan kerjasama dari
W.A.Lokollo, juga seorang nasionalis berhasil mengungguli kedua
sekolah tadi. P.S.S melayani rakyat kecil dan orang tua murid
yang acapkali tidak mampu membayar uang sekolah dan cukup memberi
hasil kebun sebagai pengganti uang sekolah. Banyak murid dari
rakyat kecil yang "drop out" dari dua sekolah lainnya
seperti tersebut diatas, bisa dididik kembali berkat tangan-tangan
guru yang berdedikasi dari P.S.S karena semboyan mereka adalah
"MAKE A LIFE, NOT JUST A LIVING".
Setelah proklamaasi kemerdekaan, lembaga-lembaga
dan atau pranata-pranata Kristiani, termasuk gereja-gereja dari
berbagai-bagai denominasi seperti tidak dapat membaca tanda-tanda
jaman. Mereka yang menggantungkan diri pada Belanda seperti
mengalami suatu gejolak psikologis akibat problematik finansial.
Yayasan-yayasan pendidikan yang mewarisi gedung-gedung pendidikan
Belanda bisa "survive" untuk sementara waktu, tetapi
karena ketiadaan visi dan misi, tidak dapat mengatasi problematik
managerial, dan terutama karena faktor KKN, maka lama kelamaan
sekolah-sekolah asal atau warisan Belanda itu berpindah tangan.
Contoh yang paling "frapant" dalam hal ini di Jakarta
adalah sekolah Kristen di Jalan Salemba yang "nota bene"
ketua yayasannya adalah seorang pendeta, dijual kepada lembaga
non-Kristiani.
Orang-orang dan tokoh-tokoh Kristen yang bermandikan
uang dan kekuasaan pada waktu itu, juga tidak memiliki visi
dan misi.Suatu wadah gereja nasional pun para pemimpinya mengalami
semacam "malaise" atau "fiasco" secara moral
dan etika. Perguruan -perguruan tinggi Kristen yang seharusnya
belajar dari sejarah yang rancu dari partner mereka di luar
negeri, menjadi ajang perebutan pengaruh dan entah apa lagi.
Mungkin komunitas Kristiani sudah begitu tercemar sehingga mereka
hanya terobsesi dengan kata KASIH yang sudah diracuni mereka
sendiri. Mendiang Professor Allan Boom, begitu tulis Philip
Yancey dalam bukunya "The Bible Jesus read" (2001),
tampaknya mahasiswa strata satu di Universitas Chicago tidak
bisa melukiskan atau mendeskripsikan orang jahat. Ketidak mampuan
untuk mengenali dan menjelaskan kejahatan, kata Bloom, adalah
tanda bahaya dalam masyarakat modern. Secara mutatis mutandis
bisa dikatakan itu juga berlaku terhadap komunitas gereja di
Indonesia.
Kejahatan terstruktur dalaaam komunitas Kristen
di Indonesia sudah demikian parah, sehingga kalau tokoh gereja
seperti pendeta berselingkuh didiamkan saja, padahal ia harus
memimpin sebuah organisasi gereja yang mewakili umat Kristiani
di Indonesia. Untuk meminjam kembali ungkapan Philip Yancey,
barangkali kita harus membacakan atau mendoakan "mazmur
kutukan" sebagai motivasi "kemarahan suci".
Pendekatan yang sekarang ini dilakukan oleh sekelompok
orang yang taku akan Tuhan, mungkin ingin "membersihkan"
segala dosa kita semua dengan merintis suatu trase baru; entahlah.
Saya sendiri, terus terang , akhir-akhir ini sedang terus bergumul
dengan perasaan dari pikiran yang sedang terpasung oleh kondisi
politik bangsa dan negara ini. Seperti terpanah oleh kata-kata
Philip Yancey yang bukunya saya belum selesai membaca, tetapi
apa yang ia tulis perlu kita semua merenungkannya, menyimaknya
dan barangkali meskipun tidak mengucapkannya sebagai mazmur
kutukan, toh perlu untuk dikemukakan juga bahwa: "Dalam
hal apakah kita berbeda dengan hewan? Lebih pintar dari semut,
pasti, tetapi jauh lebih payah dalam kerjasama." Kerja
sama, mungkin ini kata kunci yang harus ditemukan dan digunakan
untuk membuka pikiran-pikiran kita yang begitu kotor, begitu
egois, begitu arogan, begitu rasional tanpa emosional atau sebaliknya,
sampai melupakan eksistensi kita "vis-a-vis" Sang
Mesias Kita, Yesus Kristus. Mungkin untuk itu dengan memperhatikan
kehidupan berbangsa dan bernegara, kita masih harus banyak belajar
dari Ayub dan Habakuk.
|