Pada tahun 1939 seorang gadis kecil bernama Maria Josephien
Jacob, tinggal di kota Makassar.Ia biasa dipanggil "Mia. Si
Mia adalah salah satu di antara delapan anak dari seorang
janda. Ibu Jacob harus bekerja keras untuk memenuhi keperluan
keluarganya yang banyak itu. Pagi-pagi ia menggoreng pisang,
lalu kakak-kakak Mia menjajakannya waktu mereka pergi ke sekolah.
Siangnya ibu itu mencuci pakaian orang lain. Setelah dikanji,
lalu diseterika, pakaian yang sudah bersih itu diantarkan
sore hari. Malam pun Ibu Jacob masih tetap bekerja; ia menjahitkan
pakaian orang Belanda, kaum penjajah pada masa itu.
Walau ia begitu sibuk, Ibu Jacob sangat setia kepada Tuhan.
Setiap jam lima pagi, ia membangunkan seisi rumah untuk berdoa
bersama-sama (si Mia biasanya duduk di pangkuan Mama). Setiap
malam, ibadah keluarga itu diulang lagi. Setiap hari Minggu,
seluruh keluarga Jacob pergi ke gereja. Dan setiap bulan,
masing-masing anak disediakan amplop persepuluhan untuk dipersembahkan
kepada Tuhan.
Waktu ibunya pergi berkunjung, si Mia sering diajak. Mereka
suka membawa sup dan bubur untuk tetangga yang sedang sakit.
Mereka juga pergi ke sebuah rumah yang dipakai untuk perjudian
dan pelacuran, untuk menginjili penghuninya. Alhasil, seorang
wanita penghuni tempat maksiat itu bertobat dan percaya kepada
Tuhan Yesus. Ia meninggalkan rumah itu, dan kemudian ia menikah
dengan seorang anggota jemaat dari gereja.
Pada tahun 1939,kota Makasar (dahulu Ujungpandang) diramaikan
dengan berita seorang penginjil dari China, Dr.John
Sung namanya. Kata orang, ia sudah berkhotbah di mana-mana
di Asia Tenggara, di Taiwan, di Philipina, di Malaysia, di
Singapura, di MuangThai.Dan di mana pun juga ada banyak sekali
orang yang bertobat dan percaya kepada Tuhan Yesus.
Pada tahun 1939, untuk pertama kalinya penginjil ternama
itu datang ke Indonesia. Ada kebaktian kebangunan rohani besar-besaran
di Jakarta, di Bandung, di Madiun, di Solo, di Surabaya dan
di Makasar. Tentu saja seluruh keluarga Jacob antusias pada
waktu mereka mendengar bahwa Dr.
John Sung dari negara Tiongkok akan datang di kota Ujungpandang
untuk mengabarkan Injil. Setiap kali ada kebaktian kebangunan
rohani, mereka selalu hadir, ibu Jacob juga ikut memberi persembahan
khusus untuk membiayai KKR itu.
Si Mia duduk terpaku selama Dr.
John Sung berkhotbah. Kata-kata penginjil itu sederhana
saja tetapi dengan sangat jelas ia memaparkan dosa manusia
serta keselamatan yang tersedia dalam Yesus Kristus.
Sepulangnya dari kebaktian akbar itu, Mia tidak dapat melupakan
khotbah tentang dosa dan keselamatan yang disampaikan tadi.
Dengan menangis ia menemui ibunya di kamar. Ia lalu mengakui
telah mengambil uang ibunya selama ini tanpa sepengetahuan
ibunya,dan beberapa kali melawan ibunya.Ia menyesali semuanya
dan meminta ibunya mengampuninya. Tentu saja ibu Jacob memaafkannya,
ia peluk Mia dan berdoa sambil menumpangkan tangan di kepala
putrinya itu. Kebaktian KKR itu, memang membawa dampak luar
biasa bagi kehidupan Mia, sehingga ia menjadi lebih rajin
belajar, giat mengikuti kebaktian dan berdoa.
Pada tahun 1942, pendudukan Jepang dimulai.Tentara Jepang
telah mengepung seluruh Nusantara. Si Mia terpaksa putus sekolah,
sehingga keluarga Jacob dari kota mengungsi ke desa Wiliwili.
Pada masa perang itu, banyak anak yang pendidikannya telantar.
Melihat keadaan yang menyedihkan itu, ibu dan kakak si Mia
membuka sebuah sekolah darurat. Paling sedikit di desa itu
anak-anak dapat diajar membaca dan menulis. Ada seorang pejabat
pemerintahan Jepang yang menyumbangkan buku-buku tulis untuk
usaha pendidikan itu. Tetapi ibu dan kakak si Mia hanya sanggup
menyekolahkan anak-anak itu sampai tingkat SD kelas 3 saja.
Pendidikan Mia sendiri masih tetap terlantar.
Menjelang masa berakhirnya Perang Dunia II, keluarga Jacob
sempat kembali ke kota Makasar. Mia rajin belajar, karena
hendak mengejar waktu yang terhilang itu. Tamatlah dia dari
SD; lalu ia masuk SLTP.
Pada masa perjuangan fisik itu, kota Ujungpandang masih dikuasai
Belanda. Bahasa pengantar di SLTP tempat Mia belajar itu,
bahasa Belanda; bahasa Indonesia hanya diajarkan sebagai pelengkap
saja. Sebagai akibatnya, Mia sangat pandai bahasa Belanda,
sedangkan bahasa Indonesianya agak kurang. Mia tahu, ia tidak
akan naik kelas kecuali pelajaran bahasa Belanda mendapat
angka tinggi.
Namun kepala sekolah SLTP itu menasehati Mia dengan bijaksana,
ia tekankan pentingnya penguasaan bahasa Indonesia, karena
suatu saat nanti Indonesia akan merdeka. Bahasa Indonesia
akan sangat dibutuhkan di kemudian hari.
Pada tahun 1949, Mia Jacob tamat SLTP. Setiap siswa yang
angka rata-ratanya cukup tinggi itu dipanggil satu per satu
ke kantor kepala sekolah. Teman-teman yang masuk ranking itu
seorang demi seorang dipanggil . . . tetapi nama Mia Jacob
belum disebut-sebut.
Ternyata si Mia adalah pelajar yang paling akhir dipanggil
untuk menghadap. Pada saat itu, barulah ia mengerti mengapa
ia diharuskan sengaja menunggu sekian lama: Dialah bintang
pelajar, bukan hanya di sekolahnya saja, tetapi di semua SLTP
di seluruh kota Ujungpandang! Dan bukan hanya itu saja: Kepala
sekolah menawarkan beasiswa, jika Mia rela pergi ke Belanda
dan belajar menjadi seorang juru rawat.
Begitu ia keluar dari kantor kepala sekolah, Mia dikerumuni
oleh teman-temannya. Mereka semua ingin merayakan prestasi
mereka. Masing-masing punya ide tentang bagaimana cara mereka
merayakan keberhasilan mereka, ada yang mengadakan pesta meriah,
ada yang dengan memutar bioskop karena ayahnya pengusaha bioskop
dan berbagai rencana lainnya. Hanya Mia tidak tertarik dengan
semua itu, dia lebih memikirkan mengapa ia yang menjadi bintang
pelajar se kotanya saat itu. Dan ia tahu pasti bahwa semuanya
itu karena kebaikan Tuhan padanya.
Kepada teman-temannya yang sedang bersuka ria itu, Mia mohon
diri. Tetapi ia tidak segera pulang: Ia mampir dulu ke gereja.
Tentu Mia tahu, Tuhan ada di mana-mana. Namun Mia merasakan
Tuhan lebih dekat bila ia memasuki gedung ibadah.
Hari itu hari kerja, dan tidak ada acara apa-apa; gedung
gereja pun tertutup. Mia mencari penjaganya dan minta agar
gereja dibuka. Untung, penjaga itu sudah mengenal si Mia dan
keluarganya dengan baik; ia tidak curiga, walau Mia tidak
menjelaskan maksudnya.
Mia memasuki aula kebaktian yang besar itu. Selangkah demi
selangkah ia maju ke depan. Ia berlutut di hadapan mimbar.
Di situ ia mencurahkan isi hatinya kepada Tuhan: "Ya Tuhan,
aku tidak layak menerima pemberian-Mu yang terlalu baik ini.
Terima kasih, Tuhan! Aku serahkan seluruh hidupku kepada-Mu
yan terlalu baik ini. Terima kasih, Tuhan! Aku serahkan seluruh
hidupku kepada-Mu. Pakailah sesuka-Mu!"
Barulah sesudah itu Mia keluar dari gereja, pulang ke rumah,
dan memberitahu ibu dan kakak-kakaknya bahwa ia telah mendapat
kehormatan khusus sebagai bintang pelajar sekota Ujungpandang.
. . .
Pada tahun 1951,pecahlah pemberontakan Andi Aziz di pulau
Sulawesi. Pemberontakan itu menimbulkan keadaan keamanan yang
porak poranda sehingga, untuk yang kedua kalinya Mia Jacob
terpaksa menunda sekolahnya.
Akhirnya Mia tidak jadi pergi ke Belanda untuk menerima beasiswa
yang ditawarkan itu. Ia tetap memasuki SLTA di kota Ujungpandang.
Tetapi baru kelas 2, sekolahnya pun terhenti.
Ketika pemberontakan itu selesai sekolah-sekolah dibuka kembali,
keadaan sudah berubah. Bahasa Belanda bukan lagi bahasa pengantar,
melainkan bahasa Indonesia. Sedangkan Mia merasa masih kurang
pandai berbahasa Nasional itu.
Lalu ada kesempatan yang tak terduga untuk mulai memperbaiki
bahasa Indonnesianya. Mia diminta menerjemahkan sebuah buku
kecil tentang George Muller, seorang tokoh Kristen Inggris
keturunan Jerman yang sangat mengandalkan kuasa doa dalam
memelihara ratusan anak yatim piatu.
Pada tahun 1955, dari pulai Sulawesi Mia pindah ke pulau
Jawa. Di Semarang ia masuk sebuah sekolah tinggi teologia
yang diselenggarakan oleh gereja-gereja Baptis. Pendidikan
Alkitab dan ketuhanan itu akan melengkapi dia untuk memenuhi
panggilannya yang dulu sudah ia rasakan sejak ia menjadi bintang
pelajar sekota.
Selama berkuliah di Semarang, Mia diminta menerjemahkan cerita-cerita
Alkitab untuk anak-anak Sekolah Minggu. Namun kekurangannya
dalam bahasa Indonesia itu masih sangat terasa Sesudah itu
ia berkenalan dengan seorang mahasiswa teologi yang bernama
Julian Sigar. Dengan cepat mereka berdua menjadi akrab, sekalipun
pemuda itu berani mengkoreksi cara Mia berbicara, seperti
misalnya menasehati untuk membedakan penggunaan kata `kita'
dengan kata `kami'," Juliaan memberi masukan dengan lemah
lembut dan perhatian yang mendalam.
Tidak lama kemudian, Nona Mia Jacob menikah dengan Pendeta
Juliaan Sigar. Ia pun mendampingi sang suami menggembalakan
sebuah gereja di Semarang, lalu sebuah gereja di Solo. Dan
Pendeta Sigar juga membantu istrinya memperbaiki bahasa Indonesianya.
Pada tahun 1963, suami-istri yang diberkati Tuhan itu ditawari
pekerjaan pelayanan di Lembaga Literatur Baptis Bandung.Hanya
beberapa saat saja mereka bekerja di lembaga itu, karena Pdt.
Juliaan Sigar menjadi gembala sidang sebuah gereja di kota
Bandung sehingga harus keluar dari lembaga lieratur. Tetapi
Ibu Mia Sigar masih tetap bekerja diLembaga Literatur Baptis
selama sepuluh tahun lebih. Banyak sekali lembaran Sekolah
Minggu, pelajaran Sekolah Injil Liburan, dan buku-buku tentang
pengabaran Injil yang diredaksikannya selama tahun-tahun ini.
Ketika putri tunggalnya masih kecil, Ibu Mia rindu agar dapat
bekerja di rumah sehingga dapat mengurus aaanak dengan sepenuhnya.
Terbukalah kesempatan itu pada tahun 1974, ketika ia pindah
pekerjaan ke Lembaga Alkitab Indonesia. Ia diminta menangani
suatu proyek penerjemahan yang sudah setengah jalan, yaitu:
Kabar Baik untuk Masa Kini, atau Kitab Perjanjian Baru Dalam
Bahasa Indonesia Sehari-hari.
Tugas besar itu diselesaikannya pada tahun 1978. Lalu Ibu
Mia diminta mengetuai sebuah panitia yang terdiri atas tiga
wanita, untuk memperlengkapi terjemahan gaya baru itu dengan
Perjanjian Lamanya. Kedua anggota panitia itu masing-masing
adalah seorang suster rohaniawati dari Gereja Katolik, dan
seorang pengarang dan ahli Alkitab dari Gereja Protestan.
Sebagai seorang Baptis, Ibu Mia berhasil membimbing pekerjaan
mereka dengan lancar. Pada tahun 1985, terbitlah Alkitab Kabar
Baik yang sudah lengkap.
Perhatian Ibu Mia pada anak-anak sangatlah besar. Walau anak
kandungnya sendiri hanya satu, namun sering ada anak-anak
lain di rumahnya, juga di gereja dan di SD Kristen yang dibina
oleh suaminya. Tidaklah mengherankan, sesudah selesai dengan
Alkitab Kabar Baik, Ibu Mia juga menerjemahkan Kabar Baik
Untuk Anak-Anak.
Ibu Mia masih ingat kesulitannya yang dulu, dalam hal menguasai
bahasa Indonesia. Mungkin itu yang menyebabkan dia tetap rela
mengerjakan berbagai macam terjemahan Alkitab untuk orang
yang memerlukan bahasa Indonesia yang sederhana dan jelas.
Sampai saat ini Ibu Mia Sigar masih mengenangkan pengalamannya
yang dulu, ketika ia menjadi bintang pelajar sekota Makasar.
Kata Ibu Mia: "Jauh sebelum saya memikirkan apa pun untuk
melayani Tuhan dalam bidang literatur rohani, Ia sudah mempunyai
rencana bagi saya. Rencana-Nya, serta cara-Nya Ia memperlengkapi
saya untuk tugas yang telah disediakan-Nya itu, nyata jelas!"